
Ini adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai siswa kelas 2 SMA setelah libur panjang yang begitu menyenangkan. Rasa kangen ngumpul bareng teman di kelas begitu kurasa. Hari ini aku benar-benar merasa senyuman itu selalu mengembang meskipun dengan segudang tugas dari guru yang belum selesai ku kerjakan. Suasana sejuknya pagi yang sama sekali belum terjamah oleh panasnya matahari begitu terasa. Ku
lihat sekelilingku sama sekali belum ada siswa yang datang. Sekolah masih sepi dan terlihat begitu asri dengan hiasan hijaunya dedaunan dari setiap pohon yang tumbuh mengelilingi sekolah. Saat-saat seperti inilah yang kadang-kadang membuat diri ini sadar akan besarnya kuasa Tuhan.
“Mas, kelas 2 IPA 1 di mana ya?” tanya seorang cewek yang tak ku kenal yang sedikit mengejutkanku.
“Kelas 2 IPA 1 ada di depan. Dari sini kamu lurus aja!” jawabku ramah.
“Makasih ya!” kata cewek itu sambil tersenyum. Tapi dia malah pergi ke arah yang berlawanan dari arah yang ku tunjukkan.
“Eh mba, bukan ke situ tapi ke sana!” kataku sambil menunjuk ke arah selatan, arah yang menuju ke kelas 2 IPA 1.
“Ya aku tau, tapi aku mau keliling sekolah ini dulu terus abis itu aku mau ke ruang kepsek.”
“Oh, maaf.” Kataku dengan muka yang sedikit memerah. Cewek itu melangkah menjauh dan semakin jauh. Mataku tak henti-hentinya memandang tanpa berkedip sedikitpun. Aku tak pernah melihat dia sebelumnya. Barangkali dia anak baru. Cantik, manis dan kelihatannya dia baik. Ah, kenapa aku ini? Kemudian ku teruskan langkahku menuju kelas. Aku duduk sambil meletakkan tas, mengatur nafas dan menenangkan detak jantung yang berpacu dengan cepat dan tak beraturan. Wajah cewek itu masih saja mengganggu pikiranku. Tapi cepat-cepat ku tepis bayangan semu itu dan akupun terbangun dari lamunanku. Tak ku sadari ternyata ke adaan kelas yang semula sepi kini menjadi ramai. Bahkan bunyi bel yang lumayan keraspun aku tak mendengarnya. Bu Heni masuk ke kelasku dengan begitu anggun. Beliau adalah guru favoritku. Sesosok cewek melangkah mengikuti bu Heni.
“Pagi anak-anak!” sapa bu Heni.
“Pagi bu..” balas kami serentak.
“Anak-anak, kita kedatangan siswa baru pindahan dari SMA N 7 Purworejo. Namanya Kian. Nah Kian, untuk lebih jelasnya kamu bisa memperkenalkan diri!” pinta bu Heni.
Kemudian Kian memperkenalkan dirinya. Aku terus saja memperhatikannya. Untungnya aku duduk sendiri, jadi akhirnya bu Heni menyuruh Kian untuk duduk bersamaku. Pelajaran berlangsung dengan baik. Ku perhatikan segala sesuatu yang diterangkan bu Heni. Ku catat kata-kata yang sekiranya ku anggap penting. Tak terasa jam pelajaran telah usai. Padahal sedang asyik-asyiknya belajar. Tapi sudahlah, besok juga masih ada lagi pelajarannya bu Heni. Berikutnya adalah pelajarannya pak Teguh. Ah, males. Aku tak begitu menyukai Matematika. Pelajarannya terlalu rumit dan sulit dicerna. Setelah lama ku nanti, akhirnya bel istirahat berbunyi juga. Aku bosan mendengarkan penjelasan dari pak Teguh. Tapi sepertinya Kian begitu menyukai Matematika. Buktinya ketika pak Teguh menerangkan, Kian begitu memperhatikannya.
“Emmm, Kian suka banget ya ama Matematika?” tanyaku dengan sedikit ragu.
“Semua mapel aku suka kok.” jawabnya pelan.
Awalnya aku agak canggung kalau mau ngobrol ama Kian. Tapi lama-lama aku terbiasa dan kami jadi dekat.
Seperti biasa, pagi-pagi sekali aku sudah berangkat sekolah. Karena jarak antara rumah dan sekolah dekat, jadi aku cukup dengan berjalan kaki. Tapi di tengah jalan aku melihat seorang cewek jatuh dari sepedanya. Sepertinya aku mengenalnya, ternyata Kian. Cepat-cepat aku menolongnya. Kaki Kian berdarah. Kemudian ku bonceng dia sampai sekolah dengan sepedanya.
“Makasih ya San kamu udah mau nolongin aku. Oh ya, kenapa sih kamu mau nolongin aku?” tanya Kian polos.
“Ya aku nggak tega lah ngebiarin kamu gitu aja. Udah sepantasnya aku nolongin kamu. Kita kan sahabat.”
“Sahabat? Emm, ya kita sahabat.”
Sebenernya bukan cuma itu alasan kenapa aku mau nolong Kian, nggak mungkin aku tega ngebiarin cewek yang aku sayang kesakitan karena jatuh dari sepedanya. Tapi aku nggak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Toh, sekarang kami sahabatan. Jadi aku tetap bisa deket dengannya. Bahkan sejak kejadian itu aku semakin dekat dengannya.
Hari ini Kian nggak masuk sekolah. Aku tak tau apa sebabnya. Kemudian kuputuskan untuk mengunjungi rumahnya sepulang sekolah. Tapi setibanya aku di rumah Kian, yang ku temui hanyalah rumah sepi dan sepertinya Kian tak ada di rumah. Ku coba untuk bertanya pada tetangganya, ternyata Kian masuk rumah sakit. Betapa sedihnya hati ini mendengar itu. Kemudian cepat-cepat aku menuju rumah sakit. Di rumah sakit, ku temui ibu Kian tengah menangis sambil memegang erat tangan Kian yang tak sadarkan diri dengan tubuh yang terbujur lemas.
“Bu, Kian kenapa?” tanyaku pelan sambil menahan air mata ini yang akan menjebol pelupuk mataku.
“Kian kecelakaan ketika akan berangkat sekolah. Dia kekurangan banyak darah. Sedangkan persediaan darah untuk golongan darah O di rumah sakit ini sedang kosong. Golongan darah ibu AB. Ibu harus minta tolong pada siapa lagi?”
“Memangnya ayah Kian kemana bu?”
“Ayah Kian sudah meninggal waktu Kian masih kecil.”
Aku begitu menyesal telah bertanya seperti itu. Ibu Kian menangis dan terus menangis. Aku baru sadar bahwa golongan darahku juga O. Kemudian ku putuskan untuk mendonorkan darah ini untuk Kian. Alkhamdulillah darah kami cocok. Akhirnya Kian bisa selamat.
Keesokan harinya aku kembali menjenguk Kian. Sesampainya aku di rumah sakit, ku lihat Kian telah sadarkan diri. Ucap syukurku dalam hati atas semua anugerah Tuhan. Kian menyambut kedatanganku dengan senyum manisnya.
“San, makasih ya atas semuanya. Kenapa sih kamu baik banget ama aku?” anya Kian dengan pertanyaan yang sedikit mengejutkanku.
“Ya karena kamu sahabatku. Because you are my best friend, jadi sudah seharusnya aku baik ama kamu.”
Sebenarnya bukan itu yang ingin ku katakana. Tapi mungkin itu kata-kata yang tepat yang harus ku ucapkan. Setiap aku melakukan sesuatu untuk Kian, entah mengapa Kian selalu bertanya alasan mengapa aku sangat baik padanya? Mengapa aku selalu ada setiap dia membutuhkanku. Dan aku selalu saja menjawab dengan jawaban yang sama. Tapi kali ini Kian terlihat tak puas dengan jawabanku. Sorot matanya sangat tajam seperti memaksaku untuk berkata jujur, tapi aku tak bisa.
“San, kenapa sih setiap aku tanya kenapa kamu selalu baik ama aku, kamu selalu jawab dengan jawaban yang sama? ‘because you are my best friend’ selalu itu yang kamu katakana. Kenapa San?” tanya Kian dengan sedikit nada yang meninggi dan memaksa.
“Memangnya aku mesti jawab apa?”
“Ya kamu bilang kalau kamu…. Kamu kasihan kek ama aku? Atau alasan yang lain kek, atau apa?”
“Kasihan? Kamu pengen aku bilang gitu? Aku nggak ngerti jalan pikiran kamu! Udahlah nggak penting!”
“Nggak penting kamu bilang?”
“Kok kamu nyolot gitu sih? Ah, pusing!!” kataku sambil membentak Kian. Kemudian aku pergi meninggalkan Kian yang sedang menangis. Sebenarnya aku tak tega meninggalkannya sendirian. Ah, sudahlah! Lagi pula semua ini terjadi karena Kian yang memulainya. Kejadian itu membuat aku dan Kian makin jauh.
Suatu hari ibu memberitahuku bahwa kami sekeluarga akan pindah ke Bandung karena ayah harus pindah kerja ke Bandung. Ibu segera mengurus surat pindahku. Aku tak sempat memberitahu Kian soal ini. Aku pergi tanpa menyelesaikan kesalahpahaman antara aku dan Kian. Sejak saat itu aku tak pernah lagi bertemu dengan Kian. Aku harus menjalani hari-hariku tanpa Kian.
12 tahun kemudin….
Meskipun sudah lama sekali ku jalani lembaran demi lembaran kehidupan tanpa Kian dan aku selalu berusaha tuk menghapusnya dari hatiku, tapi tetap saja aku tak bisa melupakannya. Meskipun kini aku sudah bertunangan dengan seorang wanita pilihan keluargaku dan sebentar lagi kami akan menikah. Aku dijodohkan dengan Saras yang tak lain adalah teman masa kecilku dulu. Tapi sebenarnya aku sama sekali tak mencintainya meskipun selalu saja ku coba untuk belajar mencintainya.
Hari ini aku di suruh menjemput Tiara, keponakan Saras di TK. Tapi ketika aku sampai di sana ternyata aku terlalu awal. Seharusnya setengah jam lagi aku baru menjemput Tiara. Dan ketika aku sedang berkeliling melihat-lihat keadaan TK, tiba-tiba ku dengar suara lembut seorang wanita memanggilku.
“Sandi? Kamu Sandi kan? Ini aku Kian.”
“Kian? Sudah lama sekali kita nggak ketemu. Gimana kabarmu?”
“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik aja. Oh ya, maafkan aku soal yang waktu itu. Tak seharusnya aku dulu begitu.”
“Sudahlah, kamu nggak salah. Aku yang salah. Kian, aku ingin jujur. Sebenernya alasan yang paling tepat untuk menjawab pertanyaanmu waktu itu, kenapa aku selalu baik ama kamu itu karena aku sayang ama kamu, karena aku cinta ama kamu. Because I Love you. Tapi aku tak pernah bisa jujur. Maafkan aku.”
“Kenapa baru sekarang kamu bisa jujur? Kenapa?”. sorot mata Kian memancarkan kesedihan yang begitu mendalam. Sepertinya dia juga merasakan apa yang ku rasa. Kami terdiam tanpa bisa berkata sedikitpun. Suasana menjadi hening, sangat hening. Tapi keheningan itu pecah seketika saat seorang anak kecil berlari mendekati kami.
“Mama, ayo kita pulang!” pinta anak kecil itu sambil menarik-narik tangan Kian.
“Ini anakku San. Aku dijodohkan oleh keluargaku. Suamiku sangat baik dan begitu mencintaiku. Aku bahagia, sangat bahagia.” tutur Kian dengan nada yang sangat lirih.
“Aku turut bahagia mendengarnya. Oh ya, 1 minggu lagi aku akan menikah. Kamu datang ya!”
“Ya. Aku pasti datang.”
Kian pergi dan aku hanya bisa memandanginya dari belakang. Terus saja aku memandanginya hingga tak terlihat lagi. Rasa lega karena aku telah jujur tentang perasaanku yang sesungguhnya pada Kian, meskipun kini Kian telah bahagia dengan kehidupan barunya. Akupun sebentar lagi akan memulai kehidupan baruku. Biarlah semua cerita antara aku dan Kian terkubur dalam-dalam di hatiku. Yang lalu biarlah berlalu dan kini aku harus menyongsong masa depanku bersama Saras. Meskipun di hati ini masih ada Kian, tapi aku akan mencoba menghapusnya perlahan. Dan aku akan terus berusaha untuk bisa mencintai Saras. Aku yakin bahwa aku pasti bisa menjalani ini semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
cintailah dia dengan sepenuh hati dan trimalah dia apa adanya....................